Sejarah Masjid Al Aqsa Palestina Menurut Islam Kristen Yahudi Masjidil Aqsa adalah Salah satu tujuan wisata yang paling di minati oleh turis manca negara di Negeri Syuhada Palestina, Masjid Al Aqsha arti harfiah: “masjid terjauh”), juga disebut dengan Baitul Maqdis atau Bait Suci Al Haram Asy Syarif “Tanah Suci yang Mulia”, atau al-Ḥaram al-Qudsī asy-Syarīf, “Tanah Suci Yerusalem yang Mulia”), Bukit Kuil, adalah nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem.
Kompleks ini menjadi tempat yang disucikan oleh umat Islam, Yahudi, dan Kristen. Tempat ini sering dikelirukan dengan Jami’ Al Aqsha atau Masjid Al Qibli. Jami’ Al Aqsha adalah masjid berkubah biru yang menjadi bagian dari kompleks Masjid Al Aqsha sebelah selatan, sedangkan Masjidil Aqsha sendiri adalah nama dari kompleks tersebut, yang di dalamnya tidak hanya terdiri dari Jami’ Al Aqsha (bangunan berkubah biru) itu sendiri, tetapi juga Masjid Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan berbagai situs lainnya. berikut Gambar Masjidil Aqsa Palestina yang Perlu anda Ketahui
Sejarah Masjidil Aqsa Menurut Islam
Dalam sudut pandang umat Muslim, Nabi Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra’ Mi’raj dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al Haram di Mekkah. Masjid Al Aqsha juga menjadi kiblat umat Islam generasi awal hingga tujuh belas bulan setelah hijrah sampai kemudian dialihkan ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Nama masjid Al Aqsa disebutkan dalam Al Quran yakni pada surah Al Isra ayat 1 yang menjelaskan tentang peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad. “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Isra’: 1)
Dalam sejarah Islam, Masjid Al Aqsha dikenal berada di Baitul Maqdis, sebutan untuk kota yang suci. Pondasinya telah diletakkan oleh Allah SWT di muka bumi sejak Nabi Adam, as. Sedangkan pembangunannya secara turun temurun dilanjutkan oleh para Nabi-Nabi khususnya yang diutus kepada kaum Bani Israil. Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauzy, Masjid Al Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim as, yakni Nabi Yaqub bin Ishaq. Dilanjutkan dengan keturunan berikutnya yakni Nabi Daud. Lalu, bangunan Masjid Al-Aqsha diperbaharui kembali oleh putra Nabi Daud yakni Nabi Sulaiman as.
Sejarah Al Aqsa Menurut Yahudi
Sedangkan menurut kepercayaan Yahudi, tempat yang sekarang menjadi Masjid Al Aqsha juga dipercaya menjadi tempat berdirinya Bait Suci pada masa lalu. Berdasarkan sumber Yahudi, Bait Suci pertama dibangun oleh Sulaiman (Salomo) putra Dawud (Daud) pada tahun 957 SM dan dihancurkan Babilonia pada 586 SM. Bait Suci kedua dibangun pada tahun 516 SM dan dihancurkan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 M. Umat Yahudi dan Kristen juga percaya bahwa peristiwa Ibrahim (Abraham) yang hendak menyembelih putranya, Ishak, juga dilakukan di tempat ini. Masjid Al Aqsha juga memiliki kaitan erat dengan para nabi dan tokoh Bani Israel yang juga disucikan dan dihormati dalam ketiga agama.
Pada masa kepemimpinan Dinasti Ummayyah, para khalifah memerintahkan berbagai pembangunan di kompleks Masjidil Aqsha yang kemudian menghasilkan berbagai bangunan yang masih bertahan hingga saat ini, di antaranya adalah Jami’ Al Aqsha dan Kubah Shakhrah. Kubah Shakhrah sendiri diselesaikan pada tahun 692 M, menjadikannya sebagai salah satu bangunan Islam tertua di dunia.
Saat kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, pengelolaan Masjidil Aqsha lepas dari tangan umat Islam. Jami’ Al Aqsha diubah menjadi istana dan dinamakan Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo), sedangkan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dan dinamakan Templum Domini atau Kuil Tuhan. Masjidil Aqsha menjadi salah satu lambang penting di Yerusalem dan gambar Kubah Batu tercetak dalam koin yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kristen Yerusalem. Masjidil Aqsha dikembalikan fungsinya seperti semula setelah umat Islam berhasil mengambil alih kepemimpinan kompleks ini pada masa Shalahuddin Al Ayyubi. Setelah itu, umat Islam mengelola Masjidil Aqsha sebagai wakaf tanpa gangguan hingga pendudukan Israel atas Yerusalem pada 1967.
Sebagai bagian dari Kota Lama Yerusalem, pihak Israel dan Palestina masing-masing menyatakan sebagai pihak yang lebih berhak dalam mengelola Masjidil Aqsha, dan ini menjadi salah satu titik permasalahan utama Konflik Arab-Israel. Untuk menjaga kompleks ini berada dalam status quo, pemerintah Israel menetapkan larangan untuk ibadah bagi umat non-Islam di tempat ini.
Sejarah Masjid Al Aqsa Palestina
Masa Bani Israel
Bukit tempat Masjid Al Aqsha berada dipercaya telah dihuni sejak millenium keempat sebelum Masehi. Menurut Alkitab Ibrani, Nabi Dawud (Raja Daud) membeli sebidang tanah di Yerusalem dari salah satu suku Yebus, suku Kan’an untuk dibangun sebuah tempat ibadah di atasnya. Namun keinginan itu baru terwujud pada masa putra dan penerusnya, Sulaiman (Salomo), yang kemudian membangun tempat ibadah yang dikenal dengan Bait Suci pertama, Bait Salomo, atau Kuil Sulaiman. Lokasi pasti dari Bait Suci pertama ini masih tidak diketahui, tetapi dipercaya berada pada tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjid Al Aqsha.
Masa kekuasaan Persia, Hashmonayim, dan Herodes
Setelah Nebukadnezar II, Raja Babilonia, menghancurkan Bait Suci pertama pada 586 SM, Raja Koresh yang Agung memulai pembangunan Bait Suci kedua pada tahun 538 SM. Sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes yang Agung membangun ulang dan memperlebar Bait Suci, melibatkan sampai 10.000 pekerja.
Pada tahun 66 M, umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi. Empat tahun kemudian, pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Titus Flavius Vespasianus menyerang dan menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua.
Masa Romawi
Pada tahun 130 M, Kaisar Hadrianus menjanjikan untuk membangun ulang Yerusalem, tetapi umat Yahudi merasa dikhianati karena sang kaisar hendak membangun kota berdasarkan kepercayaan pagannya, juga hendak membangun kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan Dewa Yupiter di bekas reruntuhan Bait Suci kedua. Ketegangan antara pemerintah Romawi dan umat Yahudi semakin memanas saat sang kaisar juga melarang perintah sunat yang dipandang sebagai sebentuk mutilasi bagi kaisar yang menganut seorang penganut Helenis taat. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin Simon Bar Kokhba.
Namun pemberontakan itu berhasil dihancurkan pihak Romawi pada tahun 135 M. Akibatnya, umat Yahudi diusir dari Palestina, dilarangnya penggunaan hukum Taurat dan penanggalan Yahudi, dan menghukum mati ahli Yahudi. Kaisar Hadrianus membangun ulang kota Yerusalem sebagai sebuah kota Romawi bernama Aelia Capitolina dan umat Yahudi dilarang memasukinya. Di sisi lain, agama Kristen mulai bangkit dan menyebar di tubuh Kekaisaran Romawi hingga pada akhirnya menjadi agama resmi negara. Kaisar Konstantinus I melakukan kristenisasi masyarakat Romawi dan mengunggulkannya atas pemujaan paganisme. Kuil Yupiter yang dibangun Kaisar Hadrianus di reruntuhan Bait Suci kedua dihancurkan segera setelah Konsili Nicea I atas perintah Konstantinus I.
Keponakan Konstantin, Kaisar Flavius Claudius Julianus memberikan izin kepada umat Yahudi kembali dan membangun ulang Bait Suci mereka pada tahun 363. Julianus sendiri memandang bahwa Tuhan umat Yahudi merupakan anggota yang sesuai untuk Dewa-Dewa Pantheon yang dia percaya, selain dia juga adalah penentang kuat Kristen. Sejarawan gereja menyatakan bahwa umat Yahudi mulai membersihkan puing-puing di Bukit Bait, tetapi gagal lantaran gempa bumi dan kemudian kemunculan api dari dalam bumi. Namun bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa terdapat bangunan gereja, biara, atau bangunan umum lain yang berdiri di atas Bukit Bait pada masa kekuasaan Romawi Timur.
Masa Sasania
Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.
Masa kekhalifahan
Pada tahun 637, umat Islam mengambil alih kepemimpinan atas Yerusalem dari tangan Romawi Timur pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Kompleks reruntuhan Bait Suci, dikenal sebagai Masjid Al Aqsha atau Baitul Maqdis oleh umat Islam, ditemukan Umar dalam keadaan tidak terawat. Meski begitu, Umar kemudian menemukan Batu Fondasi atas bantuan Ka’b Al Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam. Batu ini diyakini sebagai titik pijakan Nabi Muhammad naik ke langit dalam kepercayaan umat Islam dan tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak menyembelih anaknya, Ishaq, dalam kepercayaan umat Yahudi.
Al Ahbar mengusulkan untuk membangun masjid di sebelah utara batu tersebut agar umat Islam dapat menghadap ke arah Ka’bah dan batu tersebut dalam satu garis lurus saat shalat. Namun Umar menolak gagasan itu dan membangun masjid di selatan batu.[28] Pernyataan saksi mata yang pertama diketahui berasal dari Arcluf yang mengunjungi Masjid Al Aqsha pada tahun 670. Berdasar pernyataan Arcluf yang dicatat oleh Adomnán, dia melihat bangunan ibadah kayu persegi panjang dibangun di atas reruntuhan dan dapat menampung setidaknya 3.000 jamaah.
Pada masa Kekhalifahan Umayyah, mulai didirikan beberapa bangunan di tanah Masjid Al Aqsha. Pada tahun 691, didirikan sebuah bangunan segi delapan berkubah yang menaungi Batu Fondasi oleh Khalifah Abdul Malik. Bangunan itu yang kemudian dikenal dengan Kubah Shakhrah, secara harfiah bermakna kubah batu.
Masa Ksatria Salib
Setelah kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, kepemimpinan Yerusalem beralih ke tangan umat Kristen. Umat Muslim berlindung di Masjid Al Aqsha, tetapi hal tersebut tidak menolong. Gesta Francorum menyatakan “(Orang-orang kita) membunuh dan menyembelih bahkan di Bait Salomo (Masjid Al Aqsha), pembantaian begitu besar sampai orang-orang kita mengarungi darah setinggi mata kaki.” Fulcher, pendeta yang turut serta dalam Perang Salib pertama, menyatakan, “Di Bait (Suci) 10.000 orang terbunuh. Memang, jika Anda di sana, Anda akan melihat kaki Anda diwarnai darah dari orang-orang yang terbunuh sampai mata kaki. Tapi apa lagi yang harus saya hubungkan? Tak satupun dari mereka dibiarkan hidup, baik wanita maupun anak-anak tidak diampuni.” Setelah peristiwa ini, Kerajaan Kristen Yerusalem didirikan. Jami’ Al Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).
Masa kekhalifahan dan Israel
Kepemimpinan Yerusalem beralih kembali ke tangan umat Islam pada 1187 setelah kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi. Semua jejak dan bekas peribadahan Kristen di Masjid Al Aqsha dihilangkan dan kompleks tersebut kembali kepada kegunaan asalnya. Kewenangan umat Islam terhadap Masjid Al Aqsha cenderung tanpa gangguan hingga lepasnya wilayahnya Palestina dari Utsmaniyyah. Setelah Perang Enam Hari, pemerintah Israel mengambil alih kepemimpinan Kota Lama Yerusalem, termasuk di dalamnya Masjid Al Aqsha.
Kepala Rabi dari Pasukan Pertahanan Israel, Shlomo Goren, memimpin pasukan melaukan perayaan keagamaan di Masjid Al Aqsha dan Tembok Barat dan mengeluarkan maklumat untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya “Yom Yerushalayim” (Hari Yerusalem). Beberapa hari setelah itu, 200.000 umat Yahudi berbondong-bondong mendatangi Tembok Barat dan ini adalah ziarah massal pertama umat Yahudi ke kompleks ini sejak tahun 70 M. Awalnya pihak berwenang Muslim tidak menghalangi Goren ketika dia beribadah di Masjid Al Aqsha, hingga pada hari Tisha B’Av dia membawa lima puluh pengikutnya sembari membawa dan mengenalkan shofar (terompet Yahudi) dan tabut portable saat ibadah, membuat ini dipandang sebagai peringatan keras bagi Lembaga Waqaf Yerusalem yang menggiring kepada buruknya hubungan antara pemerintah Israel dan pihak berwenang Muslim.
Pada Juni 1969, seorang Australia berusaha membakar Jami’ Al Aqsha. Pada 11 April 1982, seorang Yahudi bersembunyi di Kubah Shakhrah dan melepaskan tembakan, membunuh dua orang Palestina dan 44 terluka. Pada 1974, 1977, dan 1983, kelompok yang dipimpin Yoel Lerner merancang makar untuk meledakkan Kubah Shakhrah dan Jami’ Al Aqsha. Pada 26 Januari 1984, penjaga menemukan anggota B’nei Yehuda mencoba menyusup ke dalam kawasan Masjid Al Aqsha dan meledakkannya. Pada 8 Oktober 1990, pasukan Israel yang berpatroli di daerah tersebut memblokir jamaah untuk masuk ke Al Aqsha.
Gas air mata ditembakkan kepada jamaah wanita yang menyebabkan ketegangan meningkat. Pada tanggal 12 Oktober 1990, umat Islam Palestina memprotes keras niat beberapa orang Yahudi untuk meletakkan batu penjuru di lokasi Kuil Baru sebagai awal penghancuran masjid-masjid Muslim.Upaya tersebut dihambat oleh pihak berwenang Israel , tetapi para demonstran dilaporkan secara luas karena telah melempari batu kepada umat Yahudi di Tembk Barat. Menurut sejarawan Palestina Rasyid Khalidi, jurnalisme investigatif menunjukkan bahwa tuduhan ini salah. Batu-batu akhirnya dilempar sementara pasukan keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan 21 orang dan melukai 150 lainnya. Pada bulan Desember 1997, Badan Keamanan Israel mendahului upaya ekstrimis Yahudi untuk melempar kepala babi yang terbungkus halaman Al Qur’an ke daerah tersebut untuk menyulut kerusuhan dan mempermalukan pemerintah.
Antara tahun 1992 sampai 1994, pemerintah Yordania melapisi kubah dari Kubah Shakhrah dengan 5.000 pelat emas. Mimbar Shalahuddin juga dipulihkan. Perbaikan ini diperintahkan Husain, Raja Yordania, dengan anggaran pribadi sebanyak $8 juta. Pada 28 September 2000, pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjid Al Aqsha bersama dengan utusan Partai Likud dan sejumlah polisi anti huru-hara Israel. Kunjungan itu dipandang sebagai isyarat provokatif bagi rakyat Palestina yang kemudian berkumpul di tempat tersebut. Demonstrasi dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan ini menjadi pemicu terjadinya Intifadhah Kedua.
Keadaan kembali memanas saat tiga pria keturunan Arab melakukan tembakan terhadap dua polisi Israel pada Jum’at, 14 Juli 2017. Sebagai tanggapan atas peristiwa tersebut, dua pria itu ditembak mati setelah sebelumnya mencoba melarikan diri dan melakukan penutupan atas Masjid Al Aqsha dan melarang Muslim Palestina untuk shalat di sana. Mufti Agung Yerusalem, Syaikh Muhammad Ahmad Husain mengecam penutupan tersebut dan kemudian ditahan oleh polisi Israel setelah memimpin doa terbuka di dekat tempat kejadian perkara, meski kemudian dibebaskan dengan sejumlah jaminan.