Siapakah Pendiri Dinasti Turki Usmani Ottoman – Pasca pembubaran Kesultanan Rum yang dipimpin dinasti Seljuq Turki, pendahulu Utsmaniyah, pada tahun 1300-an, Anatolia terpecah menjadi beberapa negara merdeka (kebanyakan Turki) yang disebut emirat Ghazi. Salah satu emirat Ghazi dipimpin oleh Osman I (1258 – 1326) dan namanya menjadi asal usul nama Utsmaniyah. Osman I memperluas batas permukiman Turki sampai pinggiran Kekaisaran Bizantium. Tidak jelas bagaimana Osman I berhasil menguasai wilayah tetangganya karena belum banyak diketahui soal sejarah Anatolia abad pertengahan.
Pada abad setelah kematian Osman I, kekuasaan Utsmaniyah mulai meluas sampai Mediterania Timur dan Balkan. Putra Osman, Orhan, menaklukkan kota Bursa pada tahun 1324 dan menjadikannya ibu kota negara Utsmaniyah. Kejatuhan Bursa menandakan berakhirnya kendali Bizantium atas Anatolia Barat Laut. Kota Thessaloniki direbut dari Republik Venesia pada tahun 1387. Kemenangan Utsmaniyah di Kosovo tahun 1389 secara efektif mengawali kejatuhan pemerintahan Serbia di wilayah itu dan membuka jalan untuk perluasan wilayah Utsmaniyah di Eropa. Pertempuran Nicopolis tahun 1396 yang dianggap luas sebagai perang salib besar terakhir pada Abad Pertengahan gagal menghambat laju bangsa Turki Utsmaniyah.
Seiring meluasnya kekuasaan Turki di Balkan, penaklukan strategis Konstantinopel menjadi tugas penting. Kesultanan ini mengendalikan nyaris seluruh bekas tanah Bizantium di sekitar kota, namun warga Yunani Bizantium sempat luput ketika penguasa Turk-Mongolia, Tamerlane, menyerbu Anatolia dalam Pertempuran Ankara tahun 1402. Ia menangkap Sultan Bayezid I. Penangkapan Bayezid I menciptakan kekacauan di kalangan penduduk Turki. Negara pun mengalami perang saudara yang berlangsung sejak 1402 sampai 1413 karena para putra Bayezid memperebutkan takhta. Perang berakhir ketika Mehmet I naik sebagai sultan dan mengembalikan kekuasaan Utsmaniyah. Kenaikannya juga mengakhiri Interregnum yang disebut Fetret Devri dalam bahasa Turki Utsmaniyah.
Sebagian teritori Utsmaniyah di Balkan (seperti Thessaloniki, Makedonia, dan Kosovo) sempat terlepas setelah 1402, tetapi berhasil direbut kembali oleh Murad II antara 1430-an dan 1450-an. Pada tanggal 10 November 1444, Murad II mengalahkan pasukan Hongaria, Polandia, dan Wallachia yang dipimpin Władysław III dari Polandia (sekaligus Raja Hongaria) dan János Hunyadi di Pertempuran Varna, pertempuran terakhir dalam Perang Salib Varna. Empat tahun kemudian, János Hunyadi mempersiapkan pasukannya (terdiri dari pasukan Hongaria dan Wallachia) untuk menyerang Turki, namun dikalahkan oleh Murad II dalam Pertempuran Kosovo Kedua tahun 1448.
Tata Negara Turki Usmani
Tata negara Kesultanan Utsmaniyah adalah sistem yang sangat sederhana dan terbagi menjadi dua dimensi utama, pemerintahan militer dan pemerintahan sipil. Sultan adalah jabatan tertinggi dalam sistem ini. Sistem sipil dibuat berdasarkan unit-unit pemerintahan daerah yang didasarkan pada karakteristik wilayahnya. Kesultanan Utsmaniyah menggunakan sistem negara (seperti Kekaisaran Romawi Timur) menguasai kaum ulama. Tradisi-tradisi Turki pra-Islam yang bertahan setelah adopsi praktik administrasi dan hukum dari Iran Islam masih berperan penting bagi pemerintah Utsmaniyah. Menurut pemahaman Utsmaniyah, tugas utama negara adalah mempertahankan dan memperluas tanah Muslim dan menjamin keamanan dan keselarasan di dalam perbatasannya sesuai konteks praktik Islam ortodoks dan kedaulatan dinasti.
“Dinasti Utsmaniyah” atau “Wangsa Osman” tak terbandingkan dan tak terlampaui ukuran maupun durasinya di dunia Islam.[96] Dinasti Utsmaniyah berasal dari Turki. Sebelas sultan pernah digulingkan karena dianggap sebagai ancaman bagi negara oleh musuh-musuhnya. Hanya dua upaya penggulingan dinasti penguasa Osmanlı yang pernah terjadi. Dua-duanya gagal dan mendesak perlunya sistem politik yang dalam perpanjangan periodenya mampu menangani revolusi tanpa menciptakan ketidakstabilan yang tidak perlu.
Jabatan tertinggi dalam Islam, khalifah, diklaim oleh sultan sehingga negaranya juga menyandang nama Kekhalifahan Utsmaniyah. Sultan Utsmaniyah, pâdişâh atau “rajanya raja”, menjadi pemimpin tunggal kesultanan dan dianggap sebagai perwakilan pemerintahannya, meski kendalinya tidak selalu mutlak. Harem Kesultanan adalah salah satu kekuatan terpenting dalam pemerintahan Utsmaniyah. Lembaga ini dipimpin oleh Valide Sultan. Kadang Valide Sultan terlibat dalam perpolitikan negara. Wanita harem pernah mengendalikan negara pada suatu periode yang disebut “Kesultanan Wanita”. Sultan baru selalu dipilih dari putra sultan sebelumnya.
Sistem pendidikan sekolah istana yang kuat diarahkan untuk mengeliminasi calon pewaris yang tidak cocok dan menggalang dukungan elit penguasa terhadap seorang pewaris. Sekolah istana yang juga mendidik calon pejabat negara tidak bersifat jalur tunggal. Jalur pertama, madrasah (Turki Utsmaniyah: Medrese), dirancang untuk umat Islam dan mendidik cendekiawan dan pejabat negara sesuai tradisi Islam. Beban keuangan Medrese ditanggung oleh vakif, sehingga anak-anak keluarga miskin bisa menaikkan status sosial dan pendapatannya. Jalur kedua adalah sekolah asrama gratis untuk umat Kristen, Enderûn, yang merekrut 3.000 siswa tiap tahunnya dari kalangan putra Kristen antara 8 sampai 20 tahun dari satu sampai empat puluh keluarga di komunitas-komunitas di Rumelia dan/atau Balkan. Proses ini disebut Devshirme (Devşirme).
Meski sultan adalah monark tertinggi, kewenangan politik dan eksekutif sultan didelegasikan ke orang lain. Politik negara melibatkan sejumlah penasihat dan menteri yang membentuk dewan bernama Divan (setelah abad ke-17 namanya berubah menjadi “Porte”). Divan, ketika negara Utsmaniyah masih berupa Beylik, terdiri dari para tetua suku. Komposisinya kemudian diubah agar melibatkan pejabat militer dan elit lokal (seperti penasihat keagamaan dan politik). Sejak awal 1320, seorang Wazir Agung ditunjuk untuk melanjutkan tugas-tugas tertentu sultan. Wazir Agung terbebas dari sultan dan memegang kuasa penunjukan, pemecatan, dan pengawasan yang nyaris tidak terbatas. Mulai akhir abad ke-16, sultan menarik diri dari politik dan Wazir Agung menjadi kepala negara de facto.
Sepanjang sejarah Utsmaniyah, ada banyak kejadian ketika gubernur lokal mengambil tindakan secara independen sekalipun bertentangan dengan penguasa. Pasca Revolusi Turk Muda tahun 1908, negara Utsmaniyah menjadi monarki konstitusional. Sultan tidak lagi memegang kekuasaan eksekutif. Parlemen dibentuk yang perwakilannya dipilih dari provinsi-provinsi negara. Para wakil kemudian membentuk Pemerintahan Imperium Kesultanan Utsmaniyah.
Tughra adalah monogram kaligrafi atau tanda tangan para Sultan Utsmaniyah yang jumlahnya 35 orang. Dipahat di lambang Sultan, tughra mengandung nama Sultan dan ayahnya. Pernyataan dan doa “kemenangan abadi” juga dipahat di kebanyakan lambang. Tughra pertama dimiliki oleh Orhan Gazi. Tughra bergaya hiasan ini kelak merintis cabang kaligrafi Utsmaniyah-Turki.